SINTANG, SKR.COM – Kewajiban sekolah menerima siswa berdasarkan zonasi untuk tahun ajaran 2019/2020 memang telah diwajibkan, sebagaimana tertuang dalam Permendikbud Nomor 16 Tahun 2018. Namun hal tersebut mendapat pro kontra di mata masyarakat.
Menanggapi hal itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Sintang, Tuah Mangasih mengatakan, bahwa setiap kebijakan yang diambil pemerintah pasti sudah dikaji sedemikian rupa oleh pihak-pihak terkait.
Apa untung dan ruginya dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas, baik dari sisi sosial maupun dari sudut pandang lainnya.
“Hanya saja memang pada pelaksanaan di lapangan tentu akan berbeda, dari satu tempat ke tempat yg lainnya. Makanya belum tentu aturan itu cocok untuk seluruh wilayah Indonesia ini,” ujarnya, Senin (24/6/2019).
Maka dari itu, kata Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, perlu adanya evaluasi atas kebijakan pemerintah terkait sistem zonasi tersebut.
“Adanya zonasi kalau dirasa malah semakin merepotkan dan menambah-nambah birokrasi dalam dunia pendidikan, maka perlu jg dievaluasi dan dicarikan formula yang lebih pas lagi dalam sistem penerimaan siswa baru,” katanya.
Tentu jelas Tuah, formulanya tersebut yang lebih simple dan praktis, sehingga tak membuat masyarakat keberatan. Setidaknya sesuai dengan perkembangan zaman yang serba mudah saat ini. “Tidak ada salahanya dicoba, tapi jangan dipaksakan,” pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, tahun ajaran 2019/2020, setiap sekolah diwajibkan mengunakan sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru. Apabila tidak menerapkan sistem tersebut, maka akan ada sangksi dari pemerintah pusat.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Kabupaten Sintang, Lindra Azmar. Dikatakannya, bahwa berdasarkan Permendigbud Nomor 16 Tahun 2018, bahwa sisten penerimaan siswa baru sudah mengunakan jalur zonasi.
“Jalur ini bertujuan mendekatkan pelayanan pendidikan dari anak-anak ke sekolah. Jadi tidak ada lagi kesan bahwa ada sekolah favorite. Semua sekolah itu kesannya harus sama,” ujarnya.
Tentu kewajiban pemerintah adalah bagaimana menyiapkan sarana dan prasaran serta guru yang mencukupi, agar kesan sekolah favorite tersebut dapat hilang dengan sistem zonasi ini.
“Ini yang menjadi PR bagi pemerintah. Jangan sampai ada siswa yang hanya jadi penonton di sekolah yang ada depan mata mereka, karena mereka tidak bisa masuk ke sekolah tersebut,” terangnya.
Ia juga mengatakan, sistem zonasi ini yaitu 90 persen siswa yang dekat dengan sekolah, 5 persen untuk siswa yang berprestasi dan 5 persen siswa yang pindah tempat tinggal, itu pun setelah satu tahun pindahnya.
“Sistem ini sebenarnya langkah tepat yang diambil pemerintah. Salah satu contoh, sistem ini dapat menghindari siswa mengunakan kendaraan sendiri untuk pergi ke sekolah. Apalagi mereka belum cukup umur dan belum ada SIM,” pungkasnya. (*)