SINTANG, SKR – Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sintang, Nekodimus menjelaskan kesimpulan akhir dari penyelesaian polemik koperasi dengan perusahaan sawit yang dibahas Komisi D DPRD Sintang. Yakni terkait dengan Permasalahan antara petani plasma yang tergabung dalam koperasi Bina Tani Mandiri (BTM) dan Koperasi Bina Tani Sejahtera (BTS) dengan PT Buana Hijau Abadi 2 yang merupakan grup Hartono Plantation Indonesia (HPI) di Kecamatan Ketungau Tengah dan Kecamatan Ketungau Hilir.
“Setelah lama dibahas oleh Komisi D DPRD Sintang melalui berbagai rapat kerja serta tinjauan langsung ke lapangan, masalah tersebut akhirnya tuntas. Sebelumnya, kedua koperasi tersebut mempertanyakan tentang selisih lahan plasma yang selama ini terjadi. Karena ada perbedaan data, baik yang dimiliki petani maupun pihak perusahaan. Kondisi ini tentu saja berpengaruh pada besaran kredit yang harus dibayar ke bank serta minimnya pendapatan petani plasma,” jelasnya.
Dijelaskan Niko, kesimpulan akhir untuk permasalahan HPI dengan BTS terkait lahan plasma yang sudah final ditetapkan diangka 1.166 hektar. Untuk kelebihan setoran yang terjadi selama ini sebanyak Rp 14 miliar harus dibayar kembali oleh pihak kebun HPI pada koperasi. Karena, lahan petani plasma dengan luas 1.543 hektar berubah menjadi 1.166 hektar. Selanjutnya, karena lahan plasma diputuskan berkurang, maka terjadi pengurangan jumlah kredit yang dibayarkan petani plasma ke Bank. Jumlah pengurangan kredit itu sebesar Rp 22 miliar.
“Jadi total pengurangan itu setelah dihitung kemarin sekitar Rp 36 miliar lebih. Jadi masalah Koperasi BTS dengan HPI dinyatakan selesai. Dan kedua belah pihak juga sepakat. Selanjutnya perusahaan juga menyatakan kesiapannya untuk merawat kebun plasma. Lalu, jalan-jalan yang berada dalam kawasan kebun plasma juga wajib dilakukan pemeliharaan dan perawatan,” tegas Nekodimus.