Indonesia Belum Siap Hadapi MEA

JAKARTA -SKR: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan bergulir tak lama lagi. Namun, Indonesia dinilai belum siap menghadapinya, dibanding negara-negara tetangga. Masih ada kekhawatiran mengenai kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA, antara lain dari sudut pandang kapasitas SDM, sinkronisasi kebijakan, dan daya saing.

Demikian dikatakan Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR, Melani Leimena Suharli (F-PD), dalam rangka kunjungan BKSAP untuk menindaklanjuti resolusi AIPA dalam rangka MEA, di Thailand, Kamis (19/11/15). BKSAP juga mengadakan pertemuan dengan  masyarakat Indonesia di Thailand.

Melani menilai, Indonesia sepertinya belum siap menghadapi MEA, terutama apabila dibandingkan dengan Thailand yang sudah memperkenalkan MEA pada anak-anak usia sekolah dasar.

“Namun demikian, Indonesia harus optimis. Kita bisa menonjolkan industri kreatif, misalnya dengan desain yang artistik dan orisinil, juga dengan mengadakan pameran atau eksibisi di luar negeri,” optimis politisi asal dapil DKI Jakarta II itu.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Anggota BKSAP DPR, Andika Pandu Puragabaya (F-Gerindra) berpendapat bahwa Indonesia dalam menghadapi MEA bagaikan sesosok janin yang belum siap untuk dilahirkan.

“Kita harus menggodok kembali, apakah MEA merupakan suatu pencapaian bagi Indonesia, atau malah suicide?” kata politisi dapil DI Yogyakarta, seolah bertanya.

Salah satu isu yang mengemuka adalah peredaran tembakau yang dianggap dapat mengganggu produktifitas masyarakat dalam menghadapi MEA. Anggota BKSAP DPR, Siti Masrifah menyatakan bahwa kebijakan tobacco control yang diberlakukan Thailand dapat menjadi contoh bagi Indonesia.

“Jumlah iklan rokok sangat ditekan, sehingga peningkatan jumlah perokok di Thailand sangat rendah. Pendidikan dan kesehatan memang patut menjadi perhatian utama,” kata Masrifah.

Politisi F-PKB itu juga menilai, kebebasan arus barang dan jasa dalam kerangka MEA juga dikhawatirkan akan meningkatkan resiko penyelundupan manusia dan narkoba. Ia mengingatkan bahwa Indonesia saat ini sudah berada dalam situasi darurat narkoba.

“Seluruh jajaran masyarakat harus terlibat secara langsung dalam memberantas narkoba, terutama dengan memperbaiki kondisi di perbatasan,” pesan politisi asal dapil Banten itu.

Anggota BKSAP DPR, Indro Hananto (F-PG) menekankan, jika Indonesia ingin tumbuh, perlu memberikan kenyamanan kepada para investor. “Terutama dalam desentralisasi, para pelaku usaha dipusingkan dengan perbedaan peraturan yang berlaku di tingkat pusat dan daerah,” nilai politisi asal dapil Kalimantan Selatan itu.

Isu lain yang mengemuka dalam pertemuan diantaranya terkait profesi perawat. Pasalnya, di dalam negeri, belum ada sosialisasi yang memadai mengenai MEA, khususnya kepada para perawat. UU Keperawatan di Indonesia sudah disahkan, namun Thailand sudah jauh lebih maju dalam memperhatikan kesejahteraan dan kualitas/kapasitas tenaga perawat.

Duta Besar RI untuk Thailand, Lutfi Rauf, mengatakan, memang banyak pandangan pesimis di dalam negeri terhadap MEA. Pandangan serupa juga diberikan oleh negara ASEAN lainnya.

“Nantinya dalam kerangka MEA, akan ada mekanisme transisi bagi delapan jenis profesi yang diatur melalui ASEAN Mutual Recognition Arrangement, jadi tidak ada cut-off bagi para tenaga profesional dalam pembentukan MEA di akhir 2015 mendatang,” jelasnya.

Lutfi menambahkan, ada tiga kunci utama yang harus diperhatikan dalam menghadapi MEA, yaitu meningkatkan kapasitas SDM melalui pendidikan formal dan informal, mengurangi logistic cost untuk mendorong daya saing produk dalam negeri; dan terakhir, sudah saatnya kita menghilangkan ego sektoral. “Tidak ada cara lain untuk menghadapi MEA, kecuali dengan mempersiapkan diri,” ingatnya.

Sementara itu, Perhimpunan Perempuan Untuk Bangsa menyampaikan perlunya UU Perlindungan UKM; sinkronisasi kebijakan; dan mindset yang sama antara kementerian dan lembaga serta antara pusat dan daerah. (*)

Sumber:dpr.go.id

Posting Terkait