SINTANG, SKR.COM – Kapolda Kalbar, Irjen Pol, Sigid Tri Hardjanto mengunjungi Mapolres Sintang untuk memberikan beberapa arahan berkaitan dengan tugas jajaran Polri dalam upaya antisipasi bahaya asap di Kalimantan Barat.
Sigid mengatakan kunjungan kerjanya kali ini berkaitan dengan Peraturan Gubernur yang baru saja diterbitkan yang mengatur tentang pembakaran lahan.
“Sengaja saya laksanakan kunjungan kerja ke beberapa polres, hari ini ke Sintang, khusus terkait dengan peraturan gubernur yang baru saja diterbitkan yang mengatur tentang pembakaran lahan, meskipun peraturan bupati sintang sudah terbit mendahului peraturan gubernur tersebut. Tugas kita adalah untuk mensosialisasikan sehingga peraturan tersebut bisa di laksanakan,” kata Sigid.
Menurut Sigid, para personil Polri harus mensosialisasikan peraturan-peraturan tersebut, sehingga masyarakat khususnya peladang dapat memahami apa yang dimaksudkan dengan regulasi ataupun peraturan-peraturan yang sudah diterbitkan
“Pak Gubernur Beliau menekankan bahwa proses sosialisasi tersebut harus dimaknai dengan tepat agar tercipta kondisi yang tetap kondusif. Jadi tolong, nanti disampaikan kepada saudara-saudara kita, masyarakat-masyarakat kita khususnya peladang tentang tata cara untuk membuka lahan dengan pembakaran terbatas dan terkendali itu seperti apa. Ada kriteria-kriteria yang harus dilaksanakan terlebih dahulu misalnya membuat parit, harus ditungguin hingga padam, dilakukan secara bergiliran, tidak boleh membakar di lahan gambut. Jangan sampai nanti dimaknai bahwa peraturan tersebut melarang untuk masyarakat ini berladang,” jelas Sigid.
Sigid menegaskan kepada masyarakat bahwa tidak ada larangan untuk berladang, yang dilarang adalah membakar lahan untuk melaksanakan pertanian tradisionil atau untuk berladang yang tidak sesuai dengan ketentuan. Semuanya bertujuan untuk mengantisipasi supaya tidak ada bahaya asap.
Selain berkaitan dengan prosedur pembukaan lahan perladangan tersebut, Kapolda juga mengingatkan kepada para anggota Polri yang bertugas melakukan sosialisasi, untuk memastikan dan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai penanganan pelanggaran atas peraturan-peraturan tersebut.
“Yang kedua, bahwa dalam peraturan tersebut menyampaikan bahwa sanksi itu ada 2 (dua) baik sanksi administrasi berupa teguran ataupun sanksi adat berupa denda adat. Pelaksana teguran itu adalah kepala desa ataupun camat, sedangkan untuk pelaksanaan sanksi adat itu adalah pemangku adat,” ungkap Sigid.
“Nah, saat mulai sosialisasi, kita harus memastikan siapa yang dimaksud dengan pemangku adat. Pengalaman kita disini banyak organisasi yang merasa semuanya mempresentasikan atau mewakili suatu masyarakat, semua merasa berkepentingan untuk mewakili suatu suku. Harusnya ini mulai dipahami semuanya sehingga nanti jelas siapa sih pelaksana adat ini, siapa sih yang berwenang memberikan sanksi adat karna di dalam peraturan tersebut hanya disebutkan pemangku adat. Tentunya pemangku adat ini adalah perangkat adat yang diangkat dan disetujui oleh masyarakat setempat. Semuanya berbasiskan kearifan lokal. Dimana peran kita? Di situ ada undang-undang lingkungan hidup kemudian juga ada peraturan menteri dan undang-undang lain yang relevan dengan masalah kebakaran hutan ini. Jadi, peraturan-peraturan hukum positif, kita yang tetap harus menegakkan! Itu tugas kita. Semuanya agar segera dilaksanakan,” tukasnya.(*)