Calon Kepala Daerah Perlu Wawasan PP-PA

JAKARTA, SKR.COM – Anggota Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa menginginkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (PPPA) menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi bagi calon kepala daerah dan anggota DPRD untuk mendorong penyusunan kebijakan daerah tentang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) mengingatkan, pada tahun tahun 2017 ada 100 pilkada. Ini kesempatan untuk memberikan warna calon kepada daerah, jika mendapatkan masukan dari Kementerian PP dan PA tentang Perlindungan Perempuan dan anak, maka akan lebih efektif. Karena siapapun  yang akan menang pilkada sudah terpapar dengan informasi itu.

“Penting bagi kepala daerah mendapatkan sosialisasi tentang perlindungan perempuan dan anak secara massif, Setelah menang mereka harus membuat RPJMD, dan RPJMD ini tentu akan dibuat bersama dengan DPRD,” kata Ledia Hanifa, pada Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri PPPA Yohana S. Yembise, membahas Evaluasi pelaksanaan APBN Tahun 2016, Pembicaraan Pendahuluan RAPBN Tahun 2017, serta Tindaklanjut Hasil Pemeriksaan Semester II BPK RI tahun 2015, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Senin (13/6/2016).

Ledia Hanifa juga mengaspresiasi ada program yang disampaikan untuk anggota DPRD berkaitan perlindungan anak, semestinya juga perlindungan hak perempuan sehingga itu sebetulnya sebuah program yang sama perlindungan anak maupun pemberdayaan perempuan.

“Bagaimanapun juga RPJPMD itu dibuat oleh kepala daerah dan DPRD agar kemudian mereka mendapatkan sebuah roadmap yang jelas, sebagai dasar pembuatan perda-perda yang ada. Sebetulnya ini dapat memudahkan bagi kerja Kementerian PP dan PA,” tegasnya.

Selain itu, Ledia juga mengungkapkan keprihatinannya terkait sosialisasi kebijakan perlindungan perempuan dan anak secara terpadu kepada aparat penegak hukum, yang hanya menargerkan 500 orang. Padahal menurutnya problematika terhadap pemberatan hukuman terhadap kasus-kasus kejahatan seksual, ada pada aparat penegak hukum.

Karena mereka (penegak hukum) tidak punya perspektif tentang perlindungan perempuan dan anak, menyebabkan pemberatan hukuman seperti apapun jika tidak diajukan baik penyidik maupun oleh penuntut dengan hukuman maksimal maka dia tidak akan maksimal.

“Ketika ada pelaku tidak akan maksimal hukumannya karena aparat hukumnya tidak mempunyai wawasan yang cukup memadai untuk mengajukan tuntutan maksimal, padahal Perppu No. 1 Tahun 2016 yang diinginkan Presiden adalah pemberatan hukuman. Jadi ketika itu tidak tersosialisasi dengan baik maka pemberatan hukumannya juga akan menjadi sangat minim,” pungkasnya. (as)

Sumber:http://www.dpr.go.id

Posting Terkait